Andragogi adalah
proses untuk melibatkan peserta didik dewasa ke
dalam suatu struktur pengalaman belajar.
Istilah ini awalnya digunakan oleh Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, pada
tahun 1833,
dan kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang
dewasa oleh pendidik Amerika Serikat, Malcolm Knowles (24 April 1913 - 27 November 1997).
Andragogi
berasal dari bahasa Yunani yaitu "aner",
dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa yang berarti mengarahkan orang
dewasa dan berbeda dengan istilah yang lebih umum digunakan, yaitu pedagogi yang
asal katanya berarti mengarahkan anak-anak.
Dengan
demikian maka kalau ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka
andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang
dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu
mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses
interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga
belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan
sesuatu (Learner Centered
Training/Teaching).
Awalnya
digunakan oleh Alexander Kapp (pendidik
Jerman) pada tahun 1833, Andragogi dikembangkan menjadi sebuah teori pendidikan
orang dewasa oleh pendidik Amerika Malcolm
Knowles.
Asumsi-Asumsi
Pokok Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles (1970) dalam
mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai
berikut:
a.
Konsep Diri
Asumsinya bahwa kesungguhan dan
kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada
bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya
sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep
diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya
sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh
penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self
Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila
orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang
memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan
menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga
mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri,
meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sementara. Hal
ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang
berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta
proses perencanaan pelatihan.
b.
Peranan
Pengalaman
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan
perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah
kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan
berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang
individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang
bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan
memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau
pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal
seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih
mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal
dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan
Pengalaman). Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan
metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak
menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang,
melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk
melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
c.
Kesiapan Belajar
Asumsinya bahwa setiap individu
semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar
bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya,
tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas
dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan
akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena
tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai
pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap
materi pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya
materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan
peranan sosialnya.
d.
Orientasi Belajar
Asumsinya yaitu bahwa pada anak
orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk
memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter
Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki
orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem
Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa
seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan
sosial orang dewasa. Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena
adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat
untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak,
penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan
sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar
untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi. Hal ini
menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi
orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat
segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar